Reformasi Mahkama Konstitusi : Foto Warta global |
Jakarta, WARTAGLOBAL.id - Pada hari senin, 16 Oktober 2023 Mahkamah Konstitusi membacakan beberapa putusan dengan isu yang sama yakni terkait dengan uji materi (judicial review) usia calon presiden dan calon wakil presiden. Dari beberapa putusan tersebut, terdapat putusan yang dianggap inkonsisten dengan putusan lainnya SEHINGGA MEMBUAT BINGUNG SALAH SATU MAJELIS HAKIM KONSTITUSI, mendapat reaksi publik yang sangat negatif, sangat bernuansa politis, dan diduga adanya intervensi kekuasaan demi kepentingan penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024, yakni terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dalam amar putusannya tertuang:
“Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Dengan putusan tersebut, syarat usia 40 (empat puluh) tahun dalam mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden direduksi maknanya dengan mengecualikan pejabat negara yang dipilih melalui pemilu atau pilkada. Padahal konstitusi kita (Pasal 6A ayat (5) UUD 1945) sudah secara tegas bahwa politik hukum untuk mendesain tata cara pemilihan capres dan cawapres (termasuk syarat usia) merupakan kewenangan pembuat kebijakan (open legal policy) yang menyatakan bahwa “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”. Maka kehadiran MK yang diharapkan menjadi the guardian of constitution, kini menjadi “PERUSAK KONSTITUSI”.
Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya hanya sebatas menjadi negatif legislator, kini telah berubah menjadi positif legislator dengan embel-embel putusan inkonstitusional bersyarat. Padahal kewenangan positif legislator atau pembuat kebijakan adalah Pemerintah dan DPR baik ditinjau secara ketatanegaraan maupun secara peraturan perundang-undangan.
Dengan keberanian MK yang sering membuat putusan inkonstitusional bersyarat tersebut, tidak heran jika MK saat ini dijadikan keranjang masalah bukan hanya mereka secara konstitusional dirugikan akibat penerapan suatu kebijakan undang-undang, namun kini bagi politisi yang ingin mengambil legitimasi jalan pintas kekuasaan.
Selain itu, terdapat pula salah satu prinsip pokok dalam sistem peradilan yang diduga hilang dalam marwah MK, yakni the principle of judicial impartiality (prinsip ketidakberpihakan). Prinsip ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.
Dugaan atas hilangnya prinsip ketidakberpihakan itu terlihat dalam keanehan pertimbangan hukum dalam perkara a quo yang dengan mudah meloloskan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. MK yang pada umumnya sangat ketat dalam pemeriksaan legal standing, seketika melunak dan menerima legal standing "hanya" dengan alasan Pemohon adalah seorang pengagum Wali Kota Solo. Artinya, basis kerugian pemohon hanya dilandaskan pada kekagumannya kepada Gibran Rakabuming (Keponakan Ketua MK) semata. Tanpa, menjelaskan lebih rinci soal korelasi kerugian konstitusional diri Pemohon. Inilah yang kemudian menjadi problem dasar selanjutnya dari perkara ini, yakni independensi MK.
Terlebih, jika mengingat salah satu poin “Deklarasi Hakim Konstitusi Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi” yang menyebutkan, Hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim konstitusi atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan beberapa tuntutan sebagai berikut:
⦁ Mendorong semua pihak untuk melakukan evaluasi terhadap Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaannya secara independen, professional dan berkeadilan.
⦁ Mendesak Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) secara permanen untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik berupa conflict of interest terhadap Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi selaku Hakim Konstitusi. Hal ini selain karena MKMK merupakan amanah yang tertuang dalam Pasal 27A ayat (2) UU MK, pembentukan MKMK secara permanen juga menjadi salah satu rekomendasi dalam Putusan MKMK Nomor 01/MKMK/T/02/2023 yang penting untuk direalisasikan..
⦁ Mendorong adanya rekonstruksi Mahkamah Konstitusi yang didesain secara ketat dengan upaya menjaga kemandirian hakim konstitusi baik secara personal maupun kelembagaan, termasuk melarang adanya hubungan keluarga antara Presiden selaku pejabat eksekutif dan pimpinan DPR selaku pejabat legislatif dengan hakim konstitusi selaku orang yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
⦁ Mendorong semua pihak untuk kritis melakukan eksaminasi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memiliki penyelundupan hukum, bahkan membuat bingung salah satu hakim konstitusi itu sendiri.
⦁ Menolak segala bentuk tindakan baik secara politik maupun hukum yang dapat melegitimasi dan berpihak pada terbentuknya dinasti politik di Indonesia.
No comments:
Post a Comment