Dari Film Bloody Nickel The Series (Membuka Kedok Hilirisasi Mantra Jokowi) - Warta Global Indonesia

Mobile Menu

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Top Ads

Klik

More News

logoblog

Dari Film Bloody Nickel The Series (Membuka Kedok Hilirisasi Mantra Jokowi)

Monday, July 22, 2024

Foto Istimewah : Warta Global

Oleh: Syaefudin Simon (Alumnus FMIPA Kimia UGM)


Hilirisasi nikel — mantra Jokowi yang meninabobokan 80 persen rakyat Indonesia — ternyata ilusi. Jika anda melihat film dokumenter “Bloody Nickel The Series” — akan terlihat betapa buruknya management industri nikel di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Maluku Utara (Malut) yang dijalankan Rejim Jokowi.

Film dokumenter yang dibuat berdasarkan penelitian dan investigasi Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), Greenpeace, dan Transparency Internasional Indonesia (TII) benar benar menyentuh hati.


Betapa tidak! Di balik industri nikel yang dibangga-banggakan Jokowi, ternyata terdapat ribuan rakyat yang kehilangan tanah, kebun, sawah, dan mata pencaharian. Bahkan ratusan kematian, korban kekerasan dan kezaliman.


Usai menonton film Bloody Nickel, Sabtu 13 Juli 2024 di TIM, Jakarta, aku membatin: Untuk apa industri nikel jika hanya menguntungkan pebisnis Tiongkok dan segelintir pengusaha oligarki jika rakyat di Sulut dan Malut menderita luar biasa? Mereka tidak hanya kehilangan mata pencaharian, tapi juga kehidupan masa depannya.


Tanah di mana mereka lahir hancur. Sungai di mana mereka mendapat air hancur. Laut di mana mereka mencari ikan hancur. Semuanya hancur karena industri nikel yang dikelola dengan manajemen korup demi ambisi rejim Jokowi tanpa menghiraukan hukum, keadilan, dan kemanusiaan.


Bayangkan, akibat industri nikel, banyak tanah milik warga menjadi “hantu” secara tiba-tiba. Tanah warga yang sehari sebelumnya masih ada, tiba tiba hari berikutnya sudah lenyap. Pas bangun pagi, petani tidak melihat lagi tanah dan kebun cengkehnya.


Tak hanya fisik tanahnya yang lenyap dengan penanda yang hilang entah ke mana, sertifikat asli yg disimpannya juga tidak berlaku. Aparat yang mendampingi “perampok tanah” ternyata punya sertifikat hak milik tanah yang diratakannya.


Dari mana sertifikat tanah itu? Dari mafia tanah yang berkolusi dengan aparat desa, kepolisian, dan aparat hukum lainnya.


Rakyat melawan dan berontak? Jangan harap menang. Habis tenaga dan biaya, makin sengsara.


Hasil riset TII berjudul “Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya (Studi Kasus Di Halmahera Timur Dan Tengah), 2004, mencatat: “perselingkungan” elit politik penguasa dan oligarki nikel merentang dari lingkaran Istana Presiden dan Wapres, lingkaran para menteri, lingkaran para jenderal, lingkaran konglomerat dan politisi, hingga lingkaran pejabat daerah.


Secara khusus, dalam konteks di Maluku Utara, riset TII menunjukkan bahwa di industri nikel dari hulu ke hilir, terjadi beragam praktik hitam mulai dari: korupsi dalam registrasi dan sertifikasi tanah, klientelisme/patronase, arus keuangan gelap/ Illicit financial flow (IFF), revolving door (praktik keluar masuk pintu), konflik kepentingan (conflict of Interest), hingga oolitically-exposed persons (PEPs).


Salah Satu faktor kunci dari suburnya praktik korupsi dalam pertambangan nikel di Maluku Utara, adalah akibat penyanderaan dan perusakan pilar dasar demokrasi, dengan dua langkah:


Penaklukan kaum akademisi dan otoritas universitas di daerah.

Pembungkaman masyarakat sipil dan jurnalisme kritis.

Riset ini juga menunjukkan temuan khusus terkait cerita-cerita masyarakat dari tingkat komunitas desa-desa sekitar tambang di Halmahera Tengah (Halteng) dan Halmahera Timur (Haltim) tentang praktik tambang nikel. Temuan khusus dari wilayah desa-desa sekitar tambang di Halteng menunjukkan bahwa praktik tambang nikel menyebabkan: Neokolonialisme di Desa-Desa Sekitar Tambang Nikel Halteng, Perusakan Ruang Hidup Rakyat dan Masyarakat Adat, Bencana dan Konflik Sosial Budaya Desa-desa Sekitar Tambang di Halteng hingga Perampasan Tanah Rakyat DesaDesa Sekitar Tambang Nikel.


Sedangkan praktik-praktik korupsi di tingkat tapak (lokasi tambang) yang ditemukan di wilayah desa-desa sekitar tambang nikel di Halteng ada empat bentuk: (1) Praktik koruptif dengan modus penggelapan kepemilikan izin Perusahaan Tambang Nikel; (2) Praktik Koruptif Dengan Modus Manipulasi Blangko Kosong Ganti Rugi; (3) Praktik Koruptif Dengan Modus Revolving Door dan Abuse of Power; dan (4) Konflik Kepentingan (Conflict of Interest).


Selanjutnya, dari temuan khusus di desa-desa sekitar tambang Haltim, terdapat cerita yang memilukan. Yaitu Perampasan Tanah serta Penggusuran Masyarakat Lokal/Adat; Perusakan Ekosistem dan Konflik Agraria; serta Politik Kavling Mafia Tanah.


Sementara praktik korupsi yang terjadi, ada empat bentuk: (1) Praktik koruptif dengan modus penggelapan kepemilikan izin Perusahaan Tambang Nikel; (2) Praktik Koruptif dengan modus Revolving Door Corruption dan Abuse of Power; (3) Praktik korupsi dengan modus Konflik Kepentingan (Conflict of Interest); dan (4) Praktik Petty Corruption (pungutan liar).


Ada pun gerakan perlawanan dan inisiatif rakyat dalam melawan tambang nikel di Halteng dapat ditelusuri dari munculnya gerakan #SaveSagea yang telah “Menyalakan Api Perlawanan Rakyat di wilayah Halteng dan sekitarnya.” Sedangkan di wilayah Haltim melahirkan gerakan #SaveWato-Wato yang menjadi perluasan (baru) bagi barisan perlawanan rakyat untuk penyelamatan Gunung Wato – Wato.


Berdasarkan cerita-cerita dari desa-desa sekitar tambang nikel di Halteng dan Haltim tersebut dapat dianalisis bahwa ada empat kategori hubungan dampak tambang nikel yang korup dengan masyarakat dan alam sekitarnya di Maluku Utara. Yaitu, (1) Korupsi Nikel dan Penciptaan Bencana Ekosistem; (2) Korupsi Nikel dan Dampak Kemiskinan/Pemiskinan Pedesaan; (3) Korupsi Nikel dan Dampak Penghancuran Sosial-Budaya dan Gender; dan (4) Korupsi Nikel dan Ancaman Etnogenosida Masyarakat Adat (TII, 2024).


Indonesia punya cadangan nikel terbesar di dunia. Posisinya sama dengan Australia, masing-masing menyumbang 21 persen dari total cadangan nikel dunia. Indonesia pun mempunyai pabrik nikel terbesar di dunia. Lokasinya di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara (Malut). Tidak seperti di Australia, di mana tambang nikel dikelola dengan manajemen hijau, di Halmahera tambang nikel dikelola dengan manajemen hitam. Manajemen yang rusak, ugal-ugalan, dan ilegal. Akibatnya, wilayah tambang nikel tercemar dan rusak parah.


Majalah Tempo edisi 5 November 2023 melaporkan adanya pencemaran air sungai yang sangat parah akibat pertambangan dan pabrik nikel di Malut tersebut. Air sungai Sagea di Malut, misalnya, tercemar akibat tambang nikel.


“Ada yang tak beres di balik gembar-gembor pemerintah menggenjot jumlah kendaraan listrik di perkotaan. Eksploitasi bijih nikel untuk bahan baterai kendaraan yang diklaim ramah lingkungan, justru merusak lingkungan di banyak tempat. Salah satunya di Weda Utara, Halmahera Tengah, Malut, ” tulis Tempo. Belakangan ini, air Sungal Sagea di Kecamatan Weda Utara selalu keruh dan berlumpur, termasuk di luar musim hujan. Jangankan untuk minum, buat mencuci baju pun airnya tak layak.


Akibatnya, ratusan keluarga di sekitar aliran sungai kini harus beralih membeli air isi ulang. Obyek wisata gua batu Boki Maruru yang termasyhur karena kejernihan air dan keindahan panoramanya pun terpaksa tutup. Padahal, sebelum airnya butek, kawasan wisata yang dikelola desa itu biasanya dikunjung 2000 orang per bulan.


Munculnya air keruh ini karena bukit-bukit berhutan di hulu Sungai Sagea terus dikupas dengan traktor dan buldoser untuk mendapatkan bijih nikel. Dalam catatan Koalisi Save Sagea, ada lima perusahaan nikel yang menambang disekitar sungal. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara telah merekomendasikan penghentian penambangan tersebut. Tapi kelima perusahaan itu bergeming. Tetap jalan.


Sungai Sagea hanya satu contoh dampak buruk tata kelola tambang nikel. Penambangan bijih nikel yang merusak lingkungan makin parah sejak perizinan beralih dari Pusat ke Pemda, tahun 2010. Hilangnya hutan, rusaknya daerah aliran sungai, pencemaran sungai, dan munculnya bencana alam hidrometeorologi di banyak tempat merupakan dampak lingkungan akibat kecerobohan operasi industri nikel.


Yang menyakitkan, jika rakyat setempat menderita dan kehilangan masa depan, sebaliknya industri nikel — mendapat subsidi dari negara. Listrik untuk semelter, misalnya, berasal dari energi batubara. Jangan kaget, harga batubaranya sangat murah karena disubsidi pemerintah Indonesia. Perizinan dipermudah. Analisis dampak lingkungan asal-asalan. Yang penting investor masuk. Dan hilirisasi bijih nikel lancar jaya!


Jokowi menyatakan, hilirisasi nikel sangat menguntungkan negara dan meningkatkan perekonomian nasional. Sebelum ada hilirisasi pada periode tahun 2017-2018, dalam catatan Kementerian Investasi, lanjut Jokowi, nilai ekspor bijih nikel Indonesia hanya senilai US$ 3,3 miliar atau Rp50-an triliun.


“Tapi begitu smelter dibangun ekspor kita mencapai Rp 500 triliun,” tandas Jokowi dalam acara Pembukaan Muktamar XX Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, disiarkan langsung lewat YouTube tvMU Channel, dikutip Sabtu (2/3/2024).


Jokowi juga menjelaskan bahwa naiknya nilai ekspor nikel hasil hilirisasi tak hanya menguntungkan perusahaan saja, tapi juga negara. Misalnya dari pajak perusahaan, pajak penghasilan karyawan, hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).


Untung duit dari Hongkong? Timpal Faisal Basri, ekonomi kritis yang mencul di film Bloody Nickel, menanggapi sesumbar Jokowi yang aduhai tersebut. Faisal menyatakan Jokowi bohong soal keuntungan negara dan peningkatan ekonomi nasional dari hilirisasi nikel.


Menurut Faisal, keuntungan dari hilirisasi hanya dinikmati oleh Cina. Hampir semua investor di tambang nikel dan smelter berasal dari Cina. Jika pun ada investor nasional (baca oligarki) hampir dapat dipastikan kerjasama dengan Cina.


“Siapa yang menikmati nikel? Pengusaha, 100% Tiongkok, labanya ya 100% ke Tiongkok, teknologi 100% Tiongkok, paten fee lari ke Tiongkok, modalnya dari Bank di China, 100% bunganya lari ke China. Tinggal PBB (pajak bumi dan bangunan), tanya PBB berapa? hanya Rp 1 – 2 miliar,” kata Faisal. Wow.


Betul, seperti kata Jokowi, ada tenaga kerja Indonesia (TKI) di penambangan dan smelter. Itu artinya mengurangi pengangguran. Tapi TKI hanya buruh kecil yang gajinya seupil. Jika pun ada TKI yang punya keahlian yang sama dengan TK Cina, maka gajinya pun sangat kecil, jauh dari gaji “putra sang naga”. Walhasil, Indonesia dieksploitasi habis-habisan oleh Cina.


Bagaimana Jok? Masih ngibul lagi? Seperti ngibulin rakyat bahwa sudah ada 1200 investor asing di IKN, faktanya nol besar.


Itulah cerita dari mantra Jokowi tentang “dongeng” hilirisasi. “Fokus ke hasil. Bukan ke proses,” ujar ayah Wapres Gibran Rakabuming Raka. Proses yang diabaikan inilah yang ‘membunuh” seluruh tatanan hukum dan kearifan lokal masyarakat setempat di sekitar situs tambang nikel.


Hasilnya? Rakyat sengsara. Masa depan sirna. Uangnya lari ke Cina! Indonesia hanya dapat sampah yang merusak rakyat Halmahera dan Sulawesi Utara. Menyedihkan.


Begitulah kesanku setelah nonton Bloody Nickel The Series! Kita tunggu seri berikutnya!

Artikel Ini Sudah Terbit di : SUMBER


Wr.G/*

No comments:

Post a Comment