Jakarta, wartaglobal.id - Diera digital sekarang ini masyarakat semakin mudah mendapatkan berbagai informasi yang terjadi setiap harinya, baik itu dari media sosial maupun pemberitaan berbasis siber (online).
Kemajuan teknologi yang terus berkembang saat ini. Tentu ada sisi positif dan negatif. Karenanya untuk menghindari hal-hal yang terkadang tidak benar terjadi. Sebagai pembaca harus bisa memilah kadar berita itu sendiri. Tentunya wajib menjadi pembaca yang cerdas dan mengerti pokok masalah dari pemberitaan itu sendiri.
Dalam pemberitaan yang tendensius pembaca hingga narasumber tentunya wajib menentukan sikap. Salah satunya bisa melihat box redaksi. Untuk memastikan wartawan atau penulis tersebut benar tercatat sebagai bagian dari redaksi. Jadi tidak perlu takut untuk menghadapi wartawan.
jika ada yang mengaku wartawan, karya jurnalistiknya tak bermutu dan cenderung bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik, ya jelas dialah wartawan abal-abal. Hanya bermodalkan kartu pers yang bertujuan untuk menakut nakuti narasumber yang akhirnya meminta sejumlah uang.
Dalam pemberitaan yang cenderung tendensius. Pembaca sendiri baik narasumber pun harus berani dalam menghadapi wartawan abal – abal. Tidak perlu ragu untuk menanyakan identitas hingga menanyakan kejelasan nama dalam box redaksi.
Kalimat “dasar wartawan abal-abal” adalah warisan dari Sabam Leo Batubara, tokoh jurnalis nasional yang pernah menjabat Dewan Pers periode 2003-2006 dan menjabat wakil ketuanya periode 2006–2009.
Indonesia punya perangkat hukum dan etik yang berfungsi menjaga kemerdekaan pers sekaligus instrumen represif untuk pers yang melanggar, yaitu UU No.40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Oleh karena itu, wartawan-wartawan profesional, yang selalu menjaga kualitas karya jurnalistiknya dan menghindari peras memeras harus tampil di baris terdepan. Angkat telunjuk. Tuding wajah wartawan abal-abal. Protes. Agar dia jera. (Red)
No comments:
Post a Comment