Eks Ketua KPK Tantang Wacana Prabowo: UU Korupsi Harus Diubah Dulu! - Warta Global Indonesia

Mobile Menu

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Top Ads

Klik

More News

logoblog

Eks Ketua KPK Tantang Wacana Prabowo: UU Korupsi Harus Diubah Dulu!

Sunday, December 22, 2024

WARTAGLOBAL.id , Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menuai kontroversi setelah menyampaikan wacana pengampunan bagi koruptor yang bersedia mengembalikan uang negara. Pernyataan tersebut disampaikan saat ia berpidato di depan mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar, Mesir, Rabu (18/12). Dalam pidatonya, Prabowo mengajak para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan aset yang telah dicuri. Ia juga menyebutkan bahwa mereka yang mengembalikan uang rakyat mungkin bisa dimaafkan.

"Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat. Kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan, dong," ujar Prabowo. Ia menambahkan, "Nanti kita beri kesempatan, cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya nggak ketahuan, mengembalikan loh ya, tapi kembalikan." Pernyataan ini menimbulkan berbagai interpretasi dan respons dari berbagai pihak.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango, menegaskan bahwa meskipun seorang koruptor mengembalikan uang hasil kejahatannya, tindakan tersebut tidak dapat menghapuskan pidana. Ia merujuk pada Pasal 4 Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur bahwa pengembalian kerugian negara tidak membebaskan pelaku dari hukuman pidana. "Jika ingin memaafkan koruptor, maka prinsip dalam Pasal 4 tersebut harus dihapus terlebih dahulu," tegas Nawawi, Minggu (22/12).

Nawawi juga mengingatkan bahwa pengampunan bagi koruptor bisa melemahkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. "Wacana ini bisa dianggap tidak sejalan dengan tujuan pemberantasan korupsi, yaitu memberikan efek jera. Pengembalian uang saja tidak cukup untuk menghapus kejahatan besar seperti korupsi," tambahnya. Menurut Nawawi, pengampunan semacam ini berisiko menciptakan persepsi bahwa korupsi memiliki jalan keluar yang mudah.

Menanggapi polemik ini, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, yang juga politisi Partai Gerindra, memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa pidato Prabowo sebenarnya tidak bermaksud untuk menghapus pidana korupsi, melainkan untuk memberikan keringanan hukuman bagi pelaku yang kooperatif. "Dalam proses hukum, pengakuan kesalahan dan pengembalian aset memang bisa menjadi faktor yang meringankan, tapi bukan berarti hukuman dihapus," ujarnya, Kamis (19/12).

Meski demikian, usulan ini tetap menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian kalangan menganggap wacana ini sebagai langkah pragmatis untuk memulihkan kerugian negara dengan cepat. Namun, banyak pula yang menilai bahwa pengampunan semacam ini justru melemahkan komitmen negara dalam memberantas korupsi secara tuntas. Beberapa pakar hukum menekankan bahwa hukum harus ditegakkan secara tegas tanpa kompromi.

Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, mengingatkan bahwa pemberian pengampunan tanpa prosedur hukum yang jelas dapat membuka celah penyalahgunaan. "Kebijakan ini perlu diatur secara ketat agar tidak memberikan sinyal yang salah bahwa kejahatan korupsi dapat dinegosiasikan," kata Indriyanto. Ia juga menekankan pentingnya menjaga integritas sistem hukum dalam menangani korupsi.

Wacana pengampunan koruptor ini membuka diskusi luas tentang strategi pemberantasan korupsi di Indonesia. Di satu sisi, pengembalian aset negara dianggap penting untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan. Namun, di sisi lain, langkah ini harus dilakukan tanpa mengorbankan asas keadilan dan efek jera. Hingga kini, publik masih menunggu penjelasan lebih lanjut dari pemerintah terkait realisasi dan mekanisme yang akan diterapkan jika wacana ini dijalankan.[AZ]


No comments:

Post a Comment